Resensi Novel Tetralogi “ Bumi Manusia “ Karya Pramoedya Ananta Toer



Informasi buku : 

Judul buku : Bumi Manusia

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Hasta Mitra

Tahun terbit : 2002

Tebal buku : 405 Halaman

      Novel Bumi manusia adalah novel pertama dari Tetralogi Buru Pramoedya yang diantarannya ada Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah kaca. Novel ini ditulis oleh seorang kritikus sastra yang mana pada saat itu beliau dipenjara diulau Buru tanpa pernah diadili pada tahun 1969 dia adalah Pramoediya Ananta Toer, pram menghabiskan masa tahanannya dengan membuat karya tulis.

      Saat diterbitkan pertama kali, pada tahun 1980, novel ini mendapat tantangan besar sebab adanya pelarangan terbit, karena bukunya dikatakan mengandung unsur ajaran marxisme dan leninsme yang mana ajaran itu dilarang pada zaman pemerintahan orde baru. Akan tetapi novel ini menjadi sebuah mahakarya yang menjadi warisan histori terbaik bagi tanah air indonesia juga memperoleh apresiasi yang luar biasa baik dalam negeri maupun mancanegara,hal ini terbukti bahwa sampai tahun 2005,novel ini sudah diterjemahkan kedalam 42 bahasa. 

       Novel ini berlatar akhir abad 18, menampilkan suasana dengan sangat apik dan detail. Lokasi yang diceritakan pada buku Bumi Manusia yatiu Wonokromo pada akhir abad 19, yang merupakan kawasan perkebunan tebu, Surabaya, Blora. Ketika membacanya seolah-olah 
pembaca berada pada abad masa itu. Tokoh didalam buku ini di perankan oleh seorang pemuda pribumi yang bernama minke, peran minke ini terinspirasi dari Tirto Adhi Sojo selaku bapak pers nasional dan pendiri serekat islam.

       Novel diawali oleh kisah cinta antara Minke (lelaki pribumi) dengan Annelies 
(perempuan keturunan Indo-Belanda). Minke yang belajar di sekolah Belanda H.B.S Surabaya mengenal Annelies secara kebetulan ketika seorang teman sekelasnya membawa dia berkunjung ke rumah perempuan itu. Di rumah itu Minke juga berkenalan dengan ibunda Annelies, Sanikem atau nama Eropanya Nyai Ontosoroh, seorang gundik yang dinikahi secara tidak sah oleh tuan Mellema (Belanda). Minke dan Annelies saling jatuh cinta, dan kemudian menikah secara Islam, tanpa kehadiran ayahnya (Mellema). Setelah kematian tuan Mellema,
Nyai Ontosoroh diseret ke pengadilan dengan perkara hak asuhnya terhadap Annelies. Penggugatnya ialah keluarga istri sah tuan Mellema. Dalam pengadilan putih tersebut status perkawinan Minke dan Annelies juga dibicarakan, Dan hakim menyatakan tidak sah di mata hukum. Karuan saja Minke berontak. Ia merasa telah menikahi Annelies secara sah sesuai
dengan hukum Islam. Maka ia menulis artikel di sebuah surat kabar bahwa mereka telah menghina dan menentang hukum Islam. Tulisan itu kemudian disebar ke seluruh kampung hingga dibaca oleh warga dan para pemuka agama. Ketika Nyai Ontosoroh gagal mempertahankan hak asuh atas anaknya dan Minke gagal mempertahankan status pernikahannya dengan Annelies, maka pengadilan memutuskan perempuan itu harus dikirim
ke Belanda.Masyarakat yang sudah dikondisikan oleh statemen-statemen Minke tentang pengadilan Belanda yang menghina hukum Islam, datang dengan amarah yang menggelegak Mereka mengepung rumah Nyai Ontosoroh untuk mencegah Belanda memasuki rumah
itu.Namun mereka pun gagal mencegah Belanda mengambil Annelies.Annelies harus pergi meninggalkan Minke dan Nyai Ontosoroh. 
“Kita kalah, Ma,” kata Minke pada mertuanya.
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,” jawab Nyai
Ontosoroh.

      Dari kutipan percakapan antara minke dan nyai ontosoroh itu yang menurut saya tertarik karena dari kalimat itu bisa menjelaskan makna dari cerita awal perjalanan seorang minke yang seorang pribumi dan berhasil bersekolah di H.B.S dan perjalanan kisah cintanya dengan annelis yang terhalang oleh kesenjangan sosial antara pribumi dengan bangsa kolonial dan perjuangan dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan sosial bagi pribumi dan bangsa kolonial,
kemudian dari sudut pandang nyai ontosoroh yang menjadi korban dari permasalahan ekonomi keluarga yang menjadikan nyai ontosoroh sebagai gundik dari tuan herman mellema, perjuangan nyai dalam membesarkan anaknya dan bertahan hidup dengan bekerja tanpa
mengenal hari libur, serta perjuangannya untuk mendapatkan hak asuh anaknya walaupun tidak berhasil karena perjuangan tidak selalu berakhir dengan sebuah kemenangan atau keberhasilan tetapi dapat dilihat dari penghargaan sebuah proses. Dan juga perjuangan untuk menunjukkan perlakuan mau belajar.

      Bagi sebagian orang yang belum pernah membaca novel ini pasti menganggap tokoh minke yang ditonjolkan tetapi justru menurut saya yang paling banyak punya peran adalah tokoh nyai ontosoroh.

     Kelebihan dari novel ini adalah penulis berhasil menggambarkan suasana yang jelas pada kehidupan dizaman dahulu pada masa hindia belanda, berbagai masalah di dalam cerita juga diaparkan dengan jelas. Serta layak di nikmati oleh siapapun apalagi bagi kalangan remaja.

       Dibalik semua kelebihan novel ini ada Kekurangannya hal ini ditandai dengan banyaknya istilah-istilah yang mengandung beberapa bahasa asing, seperti bahasa belanda yang sulit untuk
dimengerti, selain itu bahasa dalam sebagian cerita terlalu puitis. Sehingga para pembacanya kemungkinan mengalami kesukaran dalam memaknai istilah-istilah tersebut.

       Namun, dibalik kekurangan itu, tidaklah menutupi berbagai pelajaran positif yang dituangkan penulis dalam novel ini. Buku ini sangat disarankan terutama bagi para pelajar, karena didalam buku ini penulis menunjukkan betapa pentingnya belajar karena dengan belajar dapat mengubah nasib seseorang dan tidak akan merugikan diri kita ataupun orang lain melainkan dapat menguntungkan diri kita sendiri. Bukan hanya ilmu pengetahuan tetapi juga
dalam beretika. 

     Nilai-nilai yang dapat diambil dari novel karya pramoediya ananta toer ini, terutama pada nilai sosial kemanusiaan dan pendidikan, melalui tokoh minke annelis dan nyai ontosoroh pengarang menggambarkan adanya ketidakadilan diantara masyarakat pribumi dan bangsa eropa, yang dimana masyarakat pribumi dianggap remeh, sedangkan bangsa eropa diistimewakan.

      Jadi pesan yang dapat diambildari novel ini adalah kita tidak boleh memandang sebelah mata pada setiap manusia karena semua manusia adalah sama dan setara, sebagai seorang remaja harus semangat dalam segala hal, selalu sabar dan pantang menyerah dalam menghadapi rintangan hidup, selalu giat belajar karena dengan belajar dapat mengubah nasib
seseorang.

Kutipan bijak di dalam novel

a). “ Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan “_ Jean Marais

b). “ Anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan menjadi mudah. Jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semuannya “_ Nenenda

c). “ Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamanya sendiri “ _ Nyai Ontosoroh

d). “ Manusia yang wajar mesti punya sahabat, persahabatan tanpapamrih, tanpa sahabat hidup akan terlalu
sunyi “ _Nyai ontosoroh

e). “ Cinta itu indah, Minke. Juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya , orang harus berani menghaapinya “_Jean Marais

f). “ Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap kalau tidak, dia takkan menjadi apaapa“_Nyai Ontososroh

g) “ kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai “ _ Magda Peters

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Gadis Kretek" karya Ratih Kumala.

Resensi Novel Roman “ATHEIS” Antara Keyakinan dan Agama Karya Achdijat Karta Miharja

Resensi Novel “Anak Semua Bangsa” Karya Pramoedya Ananta Toer