Resensi Novel “Anak Semua Bangsa” Karya Pramoedya Ananta Toer
Identitas Buku :
● Judul Buku : Anak Semua Bangsa
● Penulis : Pramoedya Ananta Toer
● Penerbit : Hasta Mitra
● Tebal Buku : 400 Halaman
● Tahun Terbit : 2002 (Cetakan keenam)
Novel Anak Semua Bangsa (1980), merupakan bagian ke-2 dari roman tetralogi Pulau Buru karya Pramodya Ananta Toer. Tiga novel lainnya adalah Bumi Manusia (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988), yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Hasta Mitra.
Pramoedya Ananta Toer Lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Ayahnya seorang kepala sekolah nasionalis namun pemabuk, beliau adalah seorang penulis yang sering menulis tentang jerih payah indonesia untuk merdeka. Beliau pernah menjadi anggota pasukan bersenjata.
Tokoh utama novel Anak Semua Bangsa Karya Pramoedya Ananta Toer adalah Minke. Minke digambarkan memiliki watak nasionalis dan peduli pada rakyat bawah. Tema yang diangkat dalam novel ini adalh tentang bagaimana seorang laki-laki mulai mengenal orang-orang di negaranya sendiri dan mulai prihatin dan sabar akan situasi yang sebenarnya. Latar waktu
terjadi pada penghujung abad ke-19 pada tahun 1899 pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Latar Tempat terjadi di Netherland (Belanda), Rumah Robert Suurhof di Surabaya, Rumah Nyai Ontosoroh di Wonokromo, Kapal Oosthoek di Tanjung Perak, Tulangan Sidoarjo.
Latar sosial menggambarkan kodisi sosial pada masa Hindia Belanda.
Sinopsis
Tokoh Minke, yang di dalam Bumi Manusia memiliki pola pikir kaum terdidik Belanda, mulai berubah menjadi Minke, yang sadar akan nasib kaum bumi putera. Cerita dalam novel Anak Semua Bangsa dimulai dengan kesedihan. Annelies, pujaan hati Minke, meninggal di negeri Belanda setelah di paksa ikut bersama walinya yang sah secara hukum Maurits Mellema,
yang tak lain adalah saudara tirinya. Untuk mengurangi rasa sedih yang dialami, Nyai
Ontosoroh, mengajak Minke untuk pergi ke Tulangan, mengunjungi keluarga mertuanya tersebut. Di Tulangan, Minke, bertemu dengan kaumnya yang menderita akibat kebijakan pemerintah kolonial. Minke bertemu dengan Surati, adik Nyai Ontosoroh, yang memiliki cerita pahit Tuan Besar Kuasa penguasa Pabrik Gula Tulangan, Frits Homerus Vlakkenbaaij,
atau sering dilafalkan dengan sebutan Plikembloh. Ia juga bertemu dengan Trunodongso, petani di Tulangan yang menolak menyerahkan tanahnya kepada Pabrik Gula. Ia bersama petani lain yang juga menolak menyerahkan tanah melakukan perlawanan dengan caranya
sendiri. Dari cerita-cerita tersebut, Minke akhirnya memutuskan untuk membela hak kaum bumi putera. Ia mulai menulis di surat kabar mengenai ketidakadilan yang dialami oleh rakyat kelas bawah. Tapi, semua tulisannya itu ditolak oleh koran-koran Belanda.
Isu
Pram mengangkat sebuah keluarga bernama Trunodongso yang menarik perhatian saya. Kisah keluarga ini menggambarkan betapa manusia tidak akan bisa bermimpi apapun kalau
kebutuhan perut dan keamanan diri belum terpenuhi. Seperti halnya anak-anak
Trunodongso tidak tertarik melihat adanya kereta api, yang pada masa itu menjadi sebuah inovasi yang dikagumi oleh Minke. Buat mereka tidak berarti apa-apa. Sampai saat ini, masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup seperti layaknya anak-anak Trunodongso dibawah
tekanan akan kebutuhan hidup dan rasa aman, sebuah kondisi yang sungguh menyedihkan, karena hal itu secara langsung akan membatasi ruang berpikir mereka dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pun akan menjadi tak berarti dalam lingkup masyarakat seperti ini.
Kelebihan
Pemaparan cerita runtut dari awal sampai akhir dan dapat memperkenalkan lebih dalam pada sejarah Indonesia di masa kolonialisme Belanda.
Kekurangan
Tokoh yang diangkat oleh Pramoedya dalam romannya terlalu banyak, sehingga terkadang jadi tidak fokus dalam pembuatan alur masing-masing. Sehingga ada beberapa tokoh yang perannya samar, tidak jelas keterkaitan antara satu dengan yang lain.
Ulasan
Meskipun bahasanya serius dan konvensional, hal itu memberikan kekhasan tersendiri bagi Pram selaku pengarang. Itulah yang ingin diungkapkan Pram kali ini, hanya ada satu kata “mencipta kebersamaan dalam organisasi” untuk melawan Eropa dan mengusirnya dari pribumi apa pun resikonya. Itulah cara pribumi ini merdeka—keluar dari kolonialisme iblis seiblis-iblisnya. Pertanyaan terbersit,” maukah pribumi melakukan ini semua? Hingga zaman berganti, di era reformasi ini ide Anak Semua Bangsa bisa relevan dalam
menangagapi kancah perpolitikan Indonesia. Dimana sangat mudah dan banyak organisasi-organisasi yang dibentuk mengatasnamakan rakyat—tentusaja pribumi dan bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Namun terbersit pertanyaan, buat rakyat yang mana,
bukankan organisasi politik di era sekarang hanya memberi janji-janji dan tedeng aling-aling mewakili suara rakyat hanya isapan jempol semata. Mereka hanya mementingkan golongannya saja.
Hal itulah yang berbeda, Pramoedya membedakannya pada prinsip dan semangat merekamengusung Parpol atau Organisasi untuk menyejahterakan rakyat. Namun semua itu kembali pada hati nurani para organisatoris yang akankah terjebak pada prestise, kedudukan
atau kekuasaan semu saja atau memang benar-benar seperti Minke yang jatuh bangun membentuk organisasi yang terang-terangan hanya untuk memajukan dan membela rakyat pribumi dari akal-akalan Eropa yang jahat. Buku ini seharusnya menjadi bacaan wajib para organisatoris dan para politikus yang masih memiliki nurani untuk menjunjung rasa idealisme dalam memajukan dan membela rakyat yang diwakilinya. Bukan hanya kepentingan organisasi atau keuntungannya saja. Itu sangat bertolak belakang sekali dari pikiran idealis Pramoedya Ananta Toer. Roman ini sangat menarik untuk dibaca, karena alur sambungan dari Bumi Manusia ini lebih
kental dengan aroma pencarian jati diri Minke dan koleganya untuk menemukan siapakah sesungguhnya pribumi, setelah itu berupaya membangunkan pribumi dari tidur panjangnya.
Komentar
Posting Komentar