Resensi Novel "Tabula Rasa" Karya Ratih Kumala



Informasi Buku :

Judul Buku : Tabula Rasa

Penulis : Ratih Kumala

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama 

Tahun Terbit : 2016 ( Cetakan kedua edisi cover baru )

Tebal Buku :  190 halaman


Novel Tabula Rasa karya ratih kumala yang berhasil meraih juara tiga dari lomba menulis novel dewan kesenian jakarta pada tahun 2004 ini mengisahkan tentang percintaan antara tokoh Galih dan Raras yang memiliki problem mengenai kehidupan cinta mereka masing-masing. 

Tabula Rasa merupakan cerita antara dua tokoh utama bernama Galih dan Raras Dhamar Wulan. Keduanya -dengan usia yang terpaut jauh- bertemu dengan membawa masa lalunya masing-masing, sembari berharap saling menemukan cinta. Ketika dinamika politik mengatur cinta. Sungguh tak elok rasanya jika dua rezim politik yang amat berseberangan membawa efek buruk bagi manusia yang dilanda rasa asmara. Indonesia pada zaman Orde Baru (Orba) jelas-jelas menolak bercokolnya paham komunisme.

Pemberantasan paham komunisme di Indonesia mendapat sokongan dari negara yang tatanan politiknya mulai diterapkan di negara mana pun, Amerika Serikat. Tarik saja sejarahnya sedikit ke belakang. Di tahun 1960an, ada dua negara yang berseteru dalam Perang Dingin, AS dengan liberalisme versus Rusia dengan komunisme. Indonesia, pada zaman Orba, bahkan dengan mata tertutup, kita dapat melihat keberpihakan ideologi politik pemerintah saat itu.

Ironisnya, dua paham politik yang berseteru membawa implikasi yang serius bagi hubungan Galih dan Krasnaya, orang Rusia yang menjadi mantan kekasihnya. Keduanya bertemu saat ayah Galih ditugaskan di Moskow menjadi Duta Besar Indonesia untuk Rusia.

Tatanan politik yang berkuasa saat itu akhirnya membawa cinta Galih dan Krasnaya terpaksa menemui akhir. Krasnaya beserta ayahnya dibunuh rekan kerja ayahnya yang bekerja di KGB, sebuah badan inteligensi Rusia. Fragmentasi cerita yang menarik. Gaya Ratih dalam menceritakan kisah cinta tokoh-tokoh di dalamnya patut diacungi jempol. Bagaimana awalnya Galih sebenarnya bercerita tentang sosok Raras di tahun 2001, tapi kemudian cerita dipotong begitu saja dan pembaca diajak melompat ke memori Galih tahun 1990 saat ia pertama kali bertemu Krasnaya.

Atau mungkin, saat kita merasakan hal yang sama, otak memang ditugaskan untuk menjalankan fungsi yang membawa serta memori pada peristiwa yang tak ingin kita ingat?

Yang perlu digaris bawahi dari gaya Ratih bercerita adalah alur cerita yang melompat-lompat dari segi waktu dan pencerita dapat dipahami dengan mudah. Ratih seolah bercerita sambil mengajak saya pergi, menerabas waktu, ke tahun 1990 hingga 2001, saat deretan peristiwa cinta remaja itu terjadi.

Kerumitan dalam bercerita juga tak terjadi meski tokoh Galih dan Raras bertemu sambil membawa masa lalunya masing-masing. Ketika bertemu dan kepastian cintanya ditagih oleh Galih, Raras akhirnya mengaku bahwa ia seorang lesbian.

Mengaku sebagai lesbi bukan hal mudah bagi Raras. Sebelum orientasi seksualnya dijelaskan pada Galih, Raras perlu melalui proses kontemplasi bersama sahabatnya di Kanada, bahkan menggugurkan janinnya bersama Galih. Ia mengaku, dirinya mencintai gadis bernama Violet, perempuan yang akhirnya mati akibat overdosis psikotropika.

Pemeran utama Tabula Rasa ini merujuk pada Raras. Ia sadar, dirinya adalah kertas kosong yang mempersepsikan dunia dengan caranya sendiri berdasarkan proses yang telah ia lalui. Maka, pengakuan soal perasaannya terhadap lelaki yang tak pernah ia cintai adalah wujud bahwa Raras sanggup bangkit dari masa lalu dan tak menyesal telah memilih jalannya. Ia sudah berhasil untuk menuliskan tinta di atas kertas hidupnya sendiri.

Dalam novel ini, Ratih Kumala menyampaikan sebenarnya cinta itu tidak harus didasarkan atas hubungan heterogen. Semua berhak menentukan kepada siapa cintanya berlabuh. Tidak selamanya apa yang dikatakan dan dijalani setiap orang sama. Pada dasarnya proses lingkungan memengaruhi setiap tindakan, dan tindakan itu kembali lagi ditentukan oleh manusia itu sendiri.

Karena setiap manusia itu dilahirkan sebagai batu tulis yang kosong, kemudian terbentuk dari dogma aliran empiris yang membentuk jalan hidup. Maka jalan hidup itu kembali ke manusia itu yang menentukannya.

Kelebihan novel ini adalah Dialog yang disampaikan dalam Tabularasa disampaikan penuh dengan kekayaan imajinasi, bahkan ada banyak kalimat-kalimat yang memiliki makna sangat vulgar terkemas dengan berbagai gaya bahasa sehingga terkesan tidak vulgar, tidak terkesan porno, dan tidak terkesan murahan dalam penyajiannya. Terletak juga pada sampul buku yang sangat apik menggambarkan Matryoshka gadis rusia yang cantik.

Kekuragan dari novel ini terletak pada alur cerita karena mungkin sebagian orang akan bingung. Saya suka ada beberapa puisi yang terselip didalamnya puisi yang dikutip dari halaman 145-146 yang berjudul wanita membuat saya tertarik membaca bukunya.

Pesan yang dapat saya ambil yaitu dari tokoh Raras diakhir cerita Raras yang sudah mampu meyakini dirinya sendiri dan berani mengakui dirinya sebagai seseorang yang tidak menyukai kaum laki-laki ini membuat saya belajar tentang konsistensi untuk mempertahankan kata hati. 

Sebenernya ceritanya biasa. Tapi karena ada latar belakang sejarah, cara penyajian yang apik dan banyak bumbu pemikiran, ceritanya jadi nggak membosankan. Tapi aku kurang suka penyelesaian dari sisi Raras. Padahal yg memulai cerita ini Galih. Yang saya sesalin adalah tiap scene itu seperti ceritanya kurang lengkap dan bikin aku bertanya karena saya nggak tau kenapa galih bisa secinta itu sama krasnaya?, dan dibagian-bagian tengah kurang nyambung di saya, tapi menjelang akhir sampai penutupan sudah kembali nyaman, secara keseluruhan saya cukup menikmati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Gadis Kretek" karya Ratih Kumala.

Resensi Novel Roman “ATHEIS” Antara Keyakinan dan Agama Karya Achdijat Karta Miharja

Resensi Novel “Anak Semua Bangsa” Karya Pramoedya Ananta Toer