Resensi novel "seperti dendam rindu harus dibayar tuntas" karya Eka Kurniawan_Si Burung Tidur.

Judul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas 

Penulis: Eka Kurniawan 

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama 

Tahun terbit: April 2014 

Tebal: 243 halaman 

 Buku ini mengisahkan tentang ‘burung’, alias kemaluan pria yang dimiliki seorang tukang berkelahi bernama Ajo Kawir. ‘Burung’-nya tidak mau bangun dan mengeras. ‘Burung’-nya seperti orang mati suri yang terus-menerus tertidur pulas. Hal ini bermula ketika sahabatnya, Si Tokek, mengajak Ajo Kawir untuk melihat sesuatu yang menarik di rumah perempuan gila bernama Rona Merah.

 Tanpa disengaja Ajo Kawir dan Si Tokek melihat dua orang polisi, yaitu Si Pemilik Luka dan Si Perokok Keretek, memerkosa perempuan gila tersebut. Akibat ajakannya yang berujung pada tidurnya kemaluan Ajo Kawir, Si Tokek pun merasa bersalah. 

 Sudah beberapa cara dilakukan Ajo Kawir demi membuat kemaluannya bangun. Mulai dari mengolesi kemaluannya dengan cabai rawit, disengat tiga ekor lebah, hingga membaca buku-buku tipis stensilan karya Valentino, tapi tetap saja ‘burung’-nya malas untuk berdiri.

 Suatu ketika ia bertemu dengan Iteung, gadis yang dicintainya. Ajo Kawir dan Iteung sama-sama saling mencintai. Menurutnya, Iteung adalah gadis yang manis dan menyenangkan, juga seorang petarung yang hebat. Ia bahagia bersamanya, namun juga merasa takut. Takut akan apa yang bisa ia berikan untuk memenuhi kebutuhan Iteung jika ‘burung’-nya saja sama sekali tidak tertarik melihat perempuan telanjang dan lebih memilih untuk tidur panjang. 

 Ajo Kawir merasa hampir putus asa dengan ‘burung’-nya yang tidak mau menurut padanya hingga akhirnya ia pun pasrah dan memutuskan untuk tetap menunggu hari di mana ‘burung’-nya telah siap untuk bangun.

 Keseluruhan cerita dalam buku ini adalah mengenai kehidupan Ajo Kawir yang berubah setelah ‘burung’-nya tidur, dan usahanya untuk membangunkan si ‘burung’. 

 Setting ceritanya sangat erat dengan kehidupan sosial masyarakat menengah kebawah. peristiwa yang terjadi dalam novel ini yaitu peristiwa perempuan gila yang diperkosa, pernah terjadi di kehidupan nyata dan itu terjadi di Indonesia. Tepatnya di Bandar Lampung baru-baru ini ada peristiwa seorang wanita dengan gangguan jiwa diperkosa hingga hamil dan peristiwa itu terekam oleh kamera tilang elektronik dilansir dari Antara, Selasa (31/8/2021). Dan pelakunya pun belum tertangkap sampai hari ini.

 Novel ini dibuat penulis untuk menyampaikan pandangan soal ketidakadilan perlakuan yang diterima oleh perempuan bagaimana perempuan selalu dijadikan objek oleh lelaki (tak peduli walaupun kondisinya tidak waras) dan lelaki bergerak atas keinginan kemaluannya bukan otaknya. 

 Ini pertama kalinya saya membaca novel dengan alur yang bertumpuk-tumpuk dan sempat bingung, tapi setelah baca chapter-chapter berikutnya akhirnya saya pun mengerti dan ternyata seru juga. 

 Dalam novel ini pun saya menemukan beberapa kosakata baru, seperti surau, pelor, berlepot, dan lain-lain. Senang kalau lagi baca buku, kemudian menemukan kosakata yang nggak umum jadi menambah pengetahuan saya. 😀 Nama tokoh-tokohnya pun begitu unik dan nggak biasa. Contohnya saja Rona Merah, Ajo Kawir, Iwan Angsa, Paman Gembul, Si Macan, Si Tokek, Budi Baik dan lain-lain. 

 Ada satu tokoh yang saya benci bernama Pak Toto, di mana ia adalah guru dan wali kelas Iteung di sekolah. Kelakuan Pak Toto sangat nggak mencerminkan sebagai seorang wali kelas dan guru yang baik. Saya dibikin kesal dengan sikap Pak Toto. Ia selalu menyuruh Iteung pulang terakhir dengan maksud agar ia bisa melalukan perbuatan yang tidak senonoh padanya. Melihat adegan ini mengingatkan saya pada kejadian-kejadian yang sekarang sering terjadi yakni guru mencabuli siswanya. 

 Kelebihan novel ini adalah gaya menulisnya Eka Kurniawan yang menurut saya sangat berani. Gaya penulisannya yang ceplas-ceplos tapi bukan asal-asalan menjadikan novel ini terasa lebih jujur dan cara penyampaiannya tidak terasa "menjijikkan" walaupun kata-kata yang dipakai terkesan kasar dan brutal. Terlepas dari bahasa-bahasa kasar tersebut, Eka mengantarkan pada titik perenungan paling dalam tentang hakikat seorang manusia. Eka melalui kata demi kata, alur, konflik, dan beragam tokohnya membawa pembaca untuk memikirkan kembali – mendiskusikan kembali dengan nalar – tentang arti sebuah kehidupan. 

 Kekurangan nya Novel ini tidak semua kalangan atau umur bisa membacanya dengan kata lain sebaiknya novel ini dibaca oleh mereka yang sudah berusia 21 tahun ke atas karena banyak cuplikan teks yang hanya bisa dimengerti oleh orang dewasa. 

 Dalam novel ini pesan yang dapat disampaikan yaitu mengenai kehidupan yang tenang dan damai di tengah kehidupan yang sebetulnya keras dan brutal dengan digambarkan oleh penulis melalui "burung" salah satu tokoh yaitu ajo kawir yang tidak mau terbangun meskipun dicoba dengan cara apapun dari yang masuk akal sampai tidak masuk akal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Gadis Kretek" karya Ratih Kumala.

Resensi Novel Roman “ATHEIS” Antara Keyakinan dan Agama Karya Achdijat Karta Miharja

Resensi Novel “Anak Semua Bangsa” Karya Pramoedya Ananta Toer