Resensi Novel “Perempuan Di Titik Nol” karya Nawal El – Saadawi
Identitas Buku :
• Judul : Perempuan Di Titik Nol
• Penulis : Nawal El - Saadawi
• Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
• Tahun Terbit : 2014
• Jumlah Halaman : 176 Hal
perempuan dititik nol ini adalah karya dari seorang dokter bangsa mesir yang terkenal diseluruh dunia sebagai novelis dan penulis wanita pejuang hak-hak wanita, dilahirkan disebuah desa bernama kafr tahia ditepi sungai nill beliau adalah Nawal El Saadawi, beliau seorang tokoh feminisme dari mesir yang sangat terkenal dengan keberanian, dan tajam pikirannya dalam memperjuangkan kesetaraan gender.
Saat itu pemerintah mesir menolak keras penerbitan buku nya. Alhasil buku ini diterbitkan dilibanon, setelah terbit buku ini mendapat kritikan keras dari pemerintah mesir dan dilarang beredar dinegara itu. Perempuan di Titik Nol yang terbit pertama kali di tahun 1975, dan diterbitkan oleh yayasan pustaka obor ini mengisahkan lika-liku kehidupan firdaus dimasa kecilnya di desa hingga menjadi pelacur kelas atas di kairo. Yang akan divonis hukuman mati karena dia membunuh seorang germo.
Novel ini di ilhami dari kisah nyata yang ditulis oleh nawal setelah dia bertemu dengan seorang perempuan di penjara qanatir. Novel dengan alur mundur atau flash back ini menggambarkan tentang betapa menderitanya seorang perempuan, yang harus hidup di tengah masyarakat patriarti, dan harus menderita serta mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.
Novel ini bertemakan tentang perjuangan perempuan untuk menentukan hidupnya sendiri dan prosesnya dalam menghadapi realitas sosial kehidupan. Keputusan Firdaus menjadi seorang pelacur tanpa paksaan dari orang lain adalah bentuk pembebasan diri dalam menentukan kehidupannya. Ia menjalani hidupnya diantara tekaan dan ketakberdayaan. Namun, dalam hidup tidak ada yang benar-benar bebas demikian pula pilihan hidup Firdaus.
Latar tempat yang digunakan adalah negara Arab, rumah penginapan, jalan raya, sekolah, perusahaan, penjara, rumah, dan kebun. Waktu yang digunakan adalah siang, malam dan pagi. Suasana yang ada dalam novel berwujud mencekam, ramai, sunyi, dan haru. Meskipun novel ini merupakan novel terjemahan, namun gaya bahasa yang digunakan cukup ringan dan mudah dipahami. Tokoh-tokoh yang terdapat pada novel yaitu Firdaus, Ayah, Ibu, Paman, Ibrahim, Istri paman, Bayoumi, Sharifah, dan Marzouk.
Dalam novel ini memiliki 2 sudut pandang penceritaan yang pertama adalah sudut pandang nawal el saadawi yang susah ketika mau tau cerita nya firdaus,ketika dia setiap hari datang kepanjara untuk membujuk firdaus, kemudian sudut pandang firdaus yang menceritakan tentang semua nya yang akhirnya kita bisa masuk banget ke cerita firdaus dan merasakan bagaimana sih menjadi seorang firdaus itu sendiri.
Tokoh firdaus ini adalah seorang pekerja malam yang merasa bahwa harga dirinya atau seks itu bisa dijual tapi firdaus menceritakan di novel ini juga bahwa sebenarnya laki-laki juga sama aja seperti perempuan, dia pinter dia paham agama dan itu bisa dibeli untuk mendapatkan uang dan jabatan-jabatan tertentu. Yang saya suka dikalimatnya ada di halaman 145 “ lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip-prinsipnya sebenarnya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya. Mereka mempergunakan kepintaran mereka dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami sesuatu yang disalahgunakan sesuatu yang dapat dijual “.
Latar cerita ini ditahun 70 an kebawah. Pada zaman tersebut Negara arab terkenal dengan budaya patriarkinya. Patriarki ini ialah sebuah system social yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak social dan penguasaan property.
Dalam ranah perseorangan budaya patriarki adalah akar dari munculnya berbagai kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan. Mereka juga merasa memiliki hak untuk mekeksploitasi tubuh perempuan. Sampai sekarang pun masih bisa dilihat bahwa budaya seperti ini masih terjadi diIndonesia. Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu berbagai negara dibelahan bumi mengadakan demonstrasi besar-besaran melawan kekerasan terhadap perempuan atau yang dikenal dengan istilah femicide.
Di Indonesia sendiri angka kekerasan terhadap perempuan meningkat drastis, menurut Catatan Akhir Tahun 2014 Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014. Tidak hanya sampai di situ, berbagai Perda diskriminatif kemudian muncul mengatur tubuh perempuan, misalnya larangan beraktivitas malam bagi perempuan oleh pemerintah kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Berbagai bentuk penindasan pun kerap kali diberitakan dialami oleh perempuan. Penindasan tersebut dapat dialami dengan berbagai bentuk, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, serta pemecatan di tempat kerja.
Tidak jarang pula kita sering disuguhi dengan berita diskriminasi lainnya, seperti anggapan tentang baik tidaknya tubuh perempuan, larangan bagi perempuan beraktivitas malam, larangan bagi perempuan memakai celana, serta peraturan-peraturan diskriminatif lainnya. Tindak diskriminatif dalam bidang pekerjaan sangat terlihat. Nilai patriarkal yang menganggap bahwa tempat perempuan adalah di rumah dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan dengan menjadikan perempuan sebagai tenaga kerja tambahan yang dapat digaji dengan murah, tanpa jaminan sosial dan hak-hak kerja lainnya.
Begitu juga dalam bidang politik, budaya patriarkis mengonstruksikan bahwa yang berhak memerintah adalah seorang laki-laki. Budaya patriarkis menciptakan suatu mitos bahwa ruang perempuan adalah mengurus rumah tangga (domestik) sedangkan wilayah publik atau politik dianggap sebagai ruang bagi laki-laki. Tidak heran jika sampai saat ini jumlah perempuan dalam jabatan publik masih sangat minim. Dalam budaya patriarki identitas perempuan diidentikkan dengan sifat lemah lembut dan membutuhkan perlindungan untuk membuatnya semakin lemah dan mudah didominasi.
Mitos yang diciptakan tentang perempuan dalam budaya patriarki menghalangi perempuan untuk mengembangkan kekuatan serta potensi yang ada pada tubuhnya dan bukan untuk membuatnya kuat serta mampu bertahan dan berkreasi dalam menghadapi ketidakpastian hidup. Di dalam budaya patriarki kelemahan tubuh perempuan dijadikan sebagai kelemahan absolut sebagai jenis kelamin kedua.
Dalam menulis novel ini nawal ingin menyadarkan bahwa pembebasan kaum perempuan dari budaya patriarkis dan belenggu system social yang ada hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan itu sendiri. Sebagai perempuan harus mampu memulainya, agar bisa terbebaskan dan berani menyikap tabir pikiran mereka dari kesadaran palsu dan sikap lemah yang selama ini melekat.
Novel ini menarik untuk dibaca sebab secara keseluruhan akan menimbulkan impresi bagi pembaca khususnya penyadaran secara intelektual terhadap segala bentuk ketidakadilan yang menyebabkan tokohnya memasuki episode kelam dalam hidupnya. Implikasi dari pembacaan novel ini juga akan mewujudkan kesadaran kolektif terhadap banyaknya perempuan yang mengalami kondisi fisik dan mental yang tertekan bahkan pada wilayah Arab yang dikenal sebagai wilayah yang religius.
Di lihat dari cover buku ini, warna merah yang menggambarkan seorang perempuan. Disitu ada gambar dua wanita, gambar seperti ia hidup namun tidaklah hidup. Seperti hidup dalam diri orang lain. Warna hitam yang mendominasi gambar wanita itu, menjadi symbol bahwa hidupnya penuh dengan kesunyian, frustasi, dan kehampaan. Gaya bahasanya cukup oke meskipun ini pembahasannya vulgar sekali tetapi bisa disampaikan dengan tidak vulgar karena novel yang membahas feminisme apalagi novel ini membahas tentang perbudakan seks itu cenderung memiliki bahasa yang vulgar tetapi novel ini dalam pemilihan katanya sangat sopan banget jadi masih nyaman untuk dibaca.
Novel ini kurang cocok untuk dibaca anak dibawah umur, Karena pembahasan didalamnya terlalu dewasa tentang seks, pelacur dan kekerasan.
Pelecehan, pemerkosaan, dan hal lain yang melanggar HAM sangat menyakiti hati Nawal. Namun, di balik kehidupan yang menyakitkan itu, melahirkan sosok Firdaus yang pemberani, tidak mudah takut, dan cerdas. Firdaus berani menjalani hukumannya yang bukan salahnya. Buku ini sangat membuka mata saya terhadap budaya suatu negara yang sudah mengakar kuat hingga saat ini. Bahwa ada pula perempuan seperti Firdaus yang malang dan penuh penderitaan. Budaya patriarki masih sangat mengikat di kehidupan masyarakat kita.
Komentar
Posting Komentar